Keberanian dan kedermawanan Nabi Muhammad Saw adalah dua sifat luar biasa yang menjadi saksi keagungan akhlaknya. Di medan perang, Nabi Saw selalu menunjukkan keteguhan dan keberanian tanpa tanding. Beliau tidak pernah mundur atau berlindung di belakang pasukan, meskipun kematiannya dapat berarti akhir dari risalah yang beliau emban.
Keberanian Nabi Muhammad Saw yang luar biasa menjadi bukti kuat bahwa beliau tidak hanya jujur, tetapi juga sangat yakin akan kebenaran misinya. Salah satu tanda nyata dari hal ini adalah bahwa beliau tidak pernah mundur dalam pertempuran. Sebaliknya, Nabi Saw kerap memimpin pertempuran dari depan.
Seperti yang diakui oleh Ali bin Abi Thalib, “Aku menyaksikan di Perang Badar, kami berlindung di dekat Nabi Saw, dan beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh dan menjadi pejuang paling berani di hari itu.” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Bahkan dalam situasi sulit seperti Perang Hunain, di mana serangan musuh yang mendadak membuat barisan Muslim goyah, Rasulullah Saw tetap tenang dan memohon bantuan Allah, menunjukkan keteguhan hatinya yang tak tergoyahkan (HR. Bukhari).
Selain keberanian, Rasulullah Saw juga dikenal sebagai pribadi yang paling dermawan. Kedermawanannya tidak terbatas pada para sahabat atau umat Islam saja, tetapi juga kepada musuh-musuhnya, dengan harapan dapat melunakkan hati mereka dan menghapus prasangka yang menghalangi kebenaran.
Salah satu contoh nyata adalah kisah Zayd bin Su’nah, seorang rabbi terkemuka di Madinah. Zayd, yang belum memeluk Islam saat itu, meminjamkan Nabi Saw sejumlah emas dan beberapa hari sebelum jatuh tempo, ia dengan kasar menuntut pembayaran di hadapan para sahabat. Umar bin Khattab yang terkenal tegas, marah dengan tindakan tersebut dan siap memberikan hukuman.
Namun, Nabi Saw meredam kemarahan Umar dengan berkata, “Wahai Umar, kita tidak memerlukan ini. Pergilah bersamanya, lunasi hutangnya, dan tambahkan 20 sa’ kurma sebagai ganti karena engkau telah menakutinya.” Perilaku penuh kelembutan ini akhirnya membuat Zayd memeluk Islam, karena ia menyaksikan langsung bagaimana Nabi Saw mampu mengatasi amarah dengan kesabaran dan pengampunan (HR. Ibn Hibban).
Keberanian dan kedermawanan ini juga tampak dalam keseharian Nabi Saw. Pernah suatu ketika, seorang Badui dengan kasar menarik baju Nabi Saw hingga lehernya terluka, sambil berkata, “Wahai Muhammad, berikan aku dari harta Allah yang kau pegang!” Alih-alih marah, Nabi Saw hanya tersenyum dan memerintahkan agar lelaki itu diberi sesuatu (HR. Bukhari). Tindakan ini menggambarkan bagaimana Rasulullah Saw tidak pernah membalas perlakuan kasar dengan kekerasan, tetapi selalu menjawab dengan kelembutan.
Bahkan menjelang akhir hidupnya, Nabi Saw tetap menjaga kedermawanannya. Dalam keadaan sakit yang parah, beliau ingat bahwa masih ada emas yang belum dibagikan. ‘Aisyah menceritakan bahwa meskipun dalam kondisi yang sangat lemah, Nabi Saw terus menanyakan apakah emas tersebut sudah disedekahkan. Ketika ‘Aisyah mengatakan belum karena sibuk merawat beliau, Nabi Saw memintanya untuk segera membagikannya, dan berkata, “Apa yang diharapkan Muhammad jika berani bertemu Allah sementara masih memegang emas ini?” (HR. Ibn Hibban).
Kisah-kisah ini tidak hanya menunjukkan bahwa Nabi Saw adalah pemimpin yang berani dan dermawan, tetapi juga menegaskan bahwa kualitas-kualitas tersebut adalah bukti nyata dari kebenaran kenabiannya. Kombinasi sempurna antara keberanian dan kemurahan hati inilah yang menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai sosok yang dikagumi dan dihormati oleh kawan maupun lawan, serta mengukuhkan posisinya sebagai utusan Allah yang sejati. (***)
Referensi:
Ibn Ḥibbān, Muḥammad. Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān. Beirut: Mu’assasat al-Risālah, 1993.
Ibn Ḥanbal, Aḥmad. Musnad al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal. Edited by Shu’ayb al-Arnā’ūṭ and ‘Ādil Murshid. Beirut: Mu’assasat al-Risālah, 2001.
Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘īl. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Edited by Zuhayr ibn Nāṣir. Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 2002.
Sumber: muhammadiyah.or.id
Discussion about this post