RISALAH17.ID, JAKARTA – Bisfenol A atau kerap disingkat BPA pada kemasan pangan membawa risiko tersendiri pada kesehatan masyarakat dalam jangka panjang. Karenanya, sejumlah ahli kesehatan di Jakarta menyusun sebuah buku panduan untuk membantu masyarakat belajar mengenali dan lebih awas atas produk-produk yang mengundung senyawa kimia BPA.
Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa (30/1/2024), salah satu penulis buku ‘BPA Free: Perisai Keluarga dari Bahan Kimia Berbahaya’, Prof. Adang Bachtiar, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), menjelaskan BPA kerap dipakai sebagai bahan baku pembuatan plastik keras dan resin epoksi.
Umumnya ada tiga jenis produk yang mengandung BPA, yakni plastik polikarbonat, resin (material semi likuid/cair yang diperoleh dari tanaman atau diproduksi secara sintesis dan digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga), dan kertas thermal (jenis kertas yang sensitif terhadap suhu panas).
“BPA bisa berada dalam (kandungan) botol air atau galon, botol susu bayi, piring dan gelas plastik, pelapis dalam kaleng makanan, sikat gigi, lensa kacamata, alat-alat kesehatan, dan masih banyak lagi,” kata Adang.
Menurut Adang, banyak orang yang masih belum sadar kalau dalam kondisi tertentu, semisal terpapar panas dalam waktu yang lama, BPA pada kemasan pangan bisa luruh dan bermigrasi ke dalam makanan atau minuman. Bila BPA sampai terkonsumsi dalam jumlah yang melampaui ambang batas aman, efeknya bisa berupa gangguan kesehatan yang serius.
Adang mencontohkan banyak orang yang masih mengkonsumsi minuman dari kemasan kemasan polikarbonat yang sudah tua, banyak tergores dan kerap terpapar sinar matahari langsung.
“Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat. Tapi itu menunjukkan lemahnya edukasi bahaya BPA dari tingkat hulu ke hilir, dari pemerintah hingga ke masyarakat,” katanya.
Hal senada juga diungkap penulis lainnya, Dr. Dien Kurtanty. Dia menyebut salah satu kunci meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko BPA pada kesehatan adalah dengan penguatan regulasi atau kebijakan yang tegas dan terukur atas peredaran kemasan pangan berbahan plastik yang mengandung BPA.
“Sayangnya, dari penelusuran kami, belum ada regulasi yang mewajibkan produsen untuk melabelkan informasi ada atau tidaknya BPA pada kemasan produknya. Kita pun tidak tahu produk apa saja yang mengandung BPA atau bebas dari BPA,” katanya.
Dien menyoroti migrasi BPA dalam wadah makanan dan minuman berdasarkan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 20 Tahun 2019. Aturan itu menekankan ambang batas migrasi BPA pada kemasan pangan maksimum 0,6 mg/kg.
Regulasi itu, menurutnya, kalah dibanding negara lain yang sudah lebih berkomitmen terhadap perlindungan kesehatan. Misalnya, Uni Eropa yang mematok batas maksimum migrasi BPA pada kemasan pangan sebesar 0,05 mg/kg. Begitu juga Malaysia, India, Kanada, Korea Selatan dan beberapa negara lain sudah melarang penggunaan BPA dalam wadah makanan atau minuman bayi dan anak di bawah 1-3 tahun.
“Kita menanti komitmen pemerintah terutama BPOM dalam merevisi peraturan BPOM 20/2019 ini. Selain itu, mewajibkan produsen untuk memasang label informasi bebas BPA dalam produk kemasannya,” tandas Dien.
Pentingnya Edukasi
Ketua Policy Brief Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Agustina Puspitasari, mengungkapkan, IDI sejak Agustus 2023 telah mengirimkan rekomendasi ke pemerintah maupun industri perihal pentingnya mencantumkan label dalam kemasan makanan dan minuman terkait ada atau tidaknya BPA.
“IDI sudah memberikan rekomendasi ke pemerintah dan industri terkait urgensi pemberian label dalam kemasan makanan minuman, ada BPA atau tidak. Kami sendiri sangat mendukung lahirnya kebijakan pelabelan tersebut,” tegasnya.
Dia menjelaskan, paparan BPA dapat berimplikasi pada fisiologis tubuh jika terkonsumsi terus menerus. Migrasi BPA dari plastik kemasan pangan dapat berpengaruh terhadap menurunnya kualitas sperma pada pria atau kemandulan, kanker payudara, kanker testis, prostat. Selain itu, juga berpotensi terhadap hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes melitus (DM) tipe 2, dan gangguan perkembangan anak.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Noffendri Roestam mengatakan, BPA memiliki kemiripan dengan hormon estrogen yang dimiliki kaum wanita. Karena strukturnya yang mirip, maka jika terserap ke dalam tubuh akan berbahaya.
Karena itu, Noffendri mendorong perlunya gerakan edukasi ke masyarakat lapisan bawah secara masif sambil menanti penguatan regulasi di pemerintah dan lembaga terkait. Ikatan Apoteker Indonesia, katanya, bersedia membantu mensosialisasikan kampanye pengenalan risiko BPA lewat Dagusibu (Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang), program pendidikan pengenalan obat di sekitar 500 desa dan kampung.
“Itu bisa kita lakukan. Jadi, kesadaran bahaya BPA ini kita bisa mulai dari diri kita sendiri, dari masyarakat, keluarga. Sembari kita mendorong pemerintah untuk menguatkan kebijakan atau regulasi tentang penggunaan BPA ini,” tandas Noffendri. (*).
Sumber: Infopublik.id
Discussion about this post